Selasa, 06 Maret 2012

Perbedaan Iman dan Islam


Perbedaan Iman dan Islam

posted in Aqidah & Manhaj |
Penulis: Ustadz Muhammad bin Umar As Sewed
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dengan sanadnya yang bersambung kepada Yahya bin Ya’mur –rahimahullah-, ia berkata: “Sesungguhnya orang pertama yang mengingkari taqdir adalah Ma’bad Al-Juhani di Bashrah. Karena itu ketika aku berangkat haji bersama Humaid ibnu Abdirrahman Al-Himyari dan sampai di Madinah, kami berkata: “Semoga saja kita bisa bertemu dengan beberapa Shahabat.” Dan kamipun bertemu dengan Abdullah bin ‘Umar –radhiyallahu ‘anhumaa- di Masjid, maka kami apit dia antara aku dan shahabatku.
Berkata Yahya bin Ya’mur: “Aku menduga bahwa shahabatku akan meminta aku untuk berbicara, maka aku berbicara: “Wahai Aba Abdirrahman, sesungguhnya di tempat kami ada beberapa orang yang membaca Al-Qur’an, namun mereka mengingkari adanya taqdir dan bahwasanya segala sesuatu terjadi begitu saja”. Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhumaa- berkata: “Jika engkau bertemu mereka khabarkanlah bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Allah yang ibnu ‘Umar bersumpah dengan-Nya, kalau saja salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud kemudian di infakannya, niscaya Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada taqdir baik dan buruknya.
Kemudian Ibnu ‘Umar berkata: “Telah menyampaikan kepadaku ‘Umar bin Khathab –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata: “Ketika kami sedang duduk di dekat Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian putih bersih, berambut hitam pekat, tidak Nampak sedikitpun padanya tanda-tanda dari perjalanan jauh dan tidak seorangpun di antara kami yang mengenalinya, sampai akhirnya ia duduk menghadap Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu ia menyandarkan lututnya kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Nabi, seraya berkata: “Ya Muhammad terangkan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Islam adalah engkau bersaksi tiada ilah yang berhaq disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan engkau berhaji ke Baitullah jika engkau mampu untuk menunaikannya.” Ia berkata: “Engkau benar!” Kami merasa heran kepadanya, ia yang bertanya dan ia juga yang membenarkannya.
Kemudian dia berkata lagi: “Khabarkan kepadaku tentang Iman.” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “(Iman itu adalah) engkau beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir, serta engkau beriman kepada taqdir baik dan buruknya.” Ia berkata: “Engkau benar!”
Lalu ia berkata: “Selanjutnya terangkan kepadaku tentang Ihsan!” Rasulullah menjawab: “Yaitu hendaknya engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau merasa tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa dia selalu melihatmu”.
Orang itu kembali bertanya: “Beritahukan kepadaku kapan terjadinya hari kiamat?” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui dari yang bertanya.” Orang tersebut kembali bertanya: “Kalau begitu beritahukan aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Yaitu apabila budak perempuan melahirkan majikannya dan engkau melihat seseorang yang tidak beralas kaki, telanjang, papa dan penggembala saling berlomba-lomba dalam meninggikan bangunannya.”
Kemudian orang tersebut berlalu (pergi). Maka kami terdiam untuk beberapa saat. Lalu Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- berkata: “Dia adalah Jibril. Ia datang untuk mengajari kalian tentang agama kalian.” (HR. Muslim)
Di dalam hadits Jibril –‘alaihi salam- diatas kita melihat bahwa Islam dan Iman adalah dua perkara yang berbeda. Ketika ditanya tentang Islam, Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab dengan amalan-amalan dhahir (amalan lahiriah). Sedangkan ketika ditanya tentang Iman Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawabnya dengan amalan-amalan bathin (amalan hati) yaitu tentang keyakinan dan kepercayaan.
Walaupun Islam dan Iman hampir tidak bisa dipisahkan, amalan hati dalam bentuk keyakinan pasti akan mempengaruhi amalan-amalan dhahir. Demikian pula sebaliknya, amalan dhahir tidak akan bermakna tanpa disertai dengan niat lurus yang berada dalam hati. Maka amalan-amalan dhahir seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, zakat, belum tentu akan menjadi amalan yang berarti disisi Allah hingga diiringi keyakinan dan keikhlasan di dalam hati.
Allah –Subhanahu wa ta’ala- juga memerintahkan Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- untuk menegur orang-orang Arab Baduy; dan menyatakan bahwa mereka belum beriman, ketika mereka datang dalam keadaan mengira –dengan keislamannya- telah memberikan jasa dan keuntungan kepada Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Allah –Ta’ala- berfirman:
“Orang-orang Arab Baduy itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: ‘Kalian telah menjadi muslim’, karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian….” (Al Hujuraat:14)
Maka ayat ini pun menunjukkan perbedaan Islam dengan Iman; bahwasanya amalan-amalan dhahir hanya menunjukkan keislaman seseorang, adapun iman akan tumbuh sesuai dengan keyakinan hatinya. Oleh karena itulah orang-orang Arab gunung tadi dinyatakan oleh Allah –Subhanahu wa Ta’ala- yang Maha Mengetahui bahwa keimanan belum masuk pada diri mereka.
Tentunya amalan hati tidak bisa dilihat oleh kita sebagai manusia biasa, namun bisa dilihat dari tanda-tandanya. Tentu akan berbeda seorang yang shalat hanya karena terpaksa dengan tanpa keikhlasan dalam hatinya, seperti shalatnya kaum munafiqin. Allah gambarkan mereka dalam ayat-Nya:
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (An-Nisaa:142)
Demikian pula pada kisah A’rabi (orang-orang Arab gunung) diatas. Ada beberapa tanda bahwa keimanan belum masuk pada hati mereka; Pertama mereka memanggil Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- dari luar bilik dengan tidak sopan, maka Allah menghibur Nabi-Nya dengan menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh.
“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar bilik(mu) kebanyakan mereka adalah orang yang bodoh”. (Al-Hujuraat:4)
Kedua mereka mengira bahwa keislaman mereka menguntungkan dan memberikan jasa kepada Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Padahal sebaliknya justru Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan jasa kepada mereka dan Allah –Ta’ala- yang memberikan hidayah kepada mereka. Allah –Ta’ala- berfirman:
“Mereka merasa telah member ni’mat kepadamu dengan keIslaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah member ni’mat kepadaku dengan keislaman, sebenarnya Allah yang melimpahkan ni’mat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan”.(Al-Hujuraat:17)
Demikian pula para Salafush-Shalih tidak mudah untuk mengucapkan kami beriman atau mereka beriman, cukup mereka menyatakan mereka muslim dan muslimuun. Bahkan ada sebagian pendapat ulama seperti Imam Al-Laalika’i –rahimahullah- yang menyatakan wajibnya memakai kalimat Insya Allah dalam iman seperti kalimat: “ana mu’minuun InsyaAllah” artinya: “Saya seorang beriman InsyaAllah”. (Lihat Ushul I’tiqad Ahlus-Sunnah oleh Imam Al-Laalika’i:5/965)
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (An-Najm:32)
Namun Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah- menyatakan dalam masalah Iman dan Islam;
“Kalau disebut bersama maknanya berbeda, kalau disebut terpisah maknanya sama”.
Sehingga kalimat saya mukmin bisa diucapkan dengan maksud saya muslim. Namun tentunya yang lebih selamat kita menyatakan saya muslim dengan berharap dan berdo’a agar Allah menambah dan menyempurnakan keimanan kita. Wallahu a’lam.

Pengertian Islam dan Iman


Pengertian Islam dan Iman

Apa definisi Iman itu dan apa perbedaannya antara Iman dan Islam? Jawab Islam dalam pengertiannya secara umum adl menghamba kepada Allah dgn cara menjalankan ibadah-ibadah yg disyariatkan-Nya sebagaimana yg dibawa oleh para utusan-Nya sejak para rasul itu diutus hingga hari kiamat. Ini mencakup apa yg dibawa oleh Nuh as berupa hidayah dan kebenaran juga yg dibawa oleh Musa as yg dibawa oleh Isa as dan juga mencakup apa yg dibawa oleh Ibrahim as Imamul hunafa’ sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam berbagai ayat-Nya yg menunjukkan bahwa syariat-syariat terdahulu seluruhnya adl Islam kepada Allah Azza wa Jalla. Adapun Islam dalam pengertiannya secara khusus setelah diutusnya Nabi Muhammad saw adl ajaran yg dibawa oleh beliau. Karena ajaran beliau menghapun seluruh ajaran yg sebelumnya maka orang yg mengikutinya menjadi seorang muslim dan orang yg menyelisihinya bukan muslim krn ia tidak menyerahkan diri kepada Allah akan tetapi kepada hawa nafsunya. Orang-orang Yahudi adl orang-orang muslim pada zamannya Nabi Musa as demikian juga orang-orang Nashrani adl orang-orang muslim pada zamannya Nabi Isa as. Namun ketika telah diutus Nabi Muhammad saw kemudian ia mengkufurinya maka mereka bukan lagi menjadi orang muslim. Oleh krn itu tidak dibenarkan seseorang berkeyakinan bahwa agama yg dipeluk oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani sekarang ini sebagai agama yg benar dan diterima di sisi Allah sebagaimana dienul Islam bahkan orang yg berkeyakinan seperti itu berarti telah kafir dan keluar dari dienul Islam sebab Allah Taala berfirman yg artinya“Sesungguhnya dien yg diterima di sisi Allah hanyalah Islam.”“Barangsiapa mencari suatu dien selain Islam maka tidak akan diterima daripadanya.” Islam yg dimaksudkan adl Islam yg dianugrahkan oleh Allah kepada Muhammad saw dan umatnya. Allah berfirman “Pada hari ini telah Kusempurnakan utk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Ku-ridoi Islam itu jadi agamamu.” Ini adl dalil yg amat jelas yg menunjukkan bahwa selain umat ini setelah diutusnya Nabi Muhammad saw bukan pemeluk Islam. Oleh krn itu agama yg mereka anut tidak akan diterima oleh Allah dan tidak akan memberi manfaat pada hari kiamat. Kita tidak boleh menilainya sebagai agama yg lurus. Salah besar orang yg menilai Yahudi dan Nashrani sebagai saudara seiman atau bahwa agama mereka pada hari ini sama pula seperti yg dianut oleh para pendahulu mereka. Agama mereka tidak sama dgn seperti pendahulu mereka yg masih lurus dgn ikhlas mengikuti rasulnya. Ajaran agama mereka telah diselewengkan dgn ajaran dan sejarah yg dibuat oleh orang-orang yg ingkar terhadap rasulnya. Mereka ingkar terhadap kedatangan rasul yg akhir Muhammad saw sebagai pembawa risalah yg terakhir dan yg sempurna dari Allah SWT. Jika kita katakan bahwa Islam berarti menghamba diri kepada Allah Taala dgn menjalankan syariat-Nya maka dalam artian ini termasuk pula pasrah atau tunduk kepada-Nya secara zahir maupun batin. Ia mencakup seluruh aspek akidah amalan maupun perkataan. Namun jika kata Islam itu disandingkan dgn Iman maka Islam berarti amal-amal perbuatan yg zahir berupa ucapan-ucapan lisan maupun perbuatan anggota badan. Adapun Iman adl amalan batiniah yg berupa akidah dan amalan-amalan hati. Perbedaan istilah ini bisa kita lihat dalam firman Allah Taala sebagai berikut.“Orang-orang Arab Badui itu berkata ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kamu belum beriman tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk krn iman itu belum masuk ke dalam hatimu.” Mengenai kisah Nabi Luth Allah Taala berfirman “Lalu Kami keluarkan orang-orang yg beriman yg berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu kecuali sebuah rumah dari orang-orang yg berserah diri.” Di sini terlihat perbedaan antara mukmin dan muslim. Rumah yg berada di negeri itu zahirnya adl rumah yg Islami namun ternyata di dalamnya terdapat istri Luth yg menghianatinya dgn kekufurannya. Adapun siapa saja yg keluar dari negeri itu dan selamat maka mereka itulah kaum beriman yg hakiki krn keimanan telah benar-benar masuk ke dalam hati mereka. Perbedaan istilah ini juga bisa kita lihat lbh jelas lagi dalam hadis Umar bin Khattab ra bahwa Jibril pernah bertanya kepada Nabi saw mengenai Islam dan iman. Beliau menjawab“Islam adl engkau bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adl utusan Allah menegakkan salat menunaikan zakat puasa Ramadan dan berhaji ke Baitullah.” Mengenai iman beliau menjawab “Engkau beriman kepada Allah para Malaikat-Nya Kitab-kitab-Nya Utusan-utusan-Nya hari Akhir serta beriman dgn qadar yg baik dan yg buruk.” Walhasil pengertian Islam secara mutlak adl mencakup seluruh aspek agama termasuk Iman. Namun jika istilah Islam itu disandingkan dgn iman maka Islam ditafsirkan dgn amalan-amalan yg zahir yg berupa perkataan lisan dan perbuatan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dgn amalan-amalan batiniah berupa itikad dan amalan hati. Sumber Soal Jawab Masalah Iman dan Tauhid Syekh Muhammad bin Shalih al Utsaimin Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

PACARAN MENURUT ISLAM


Islam Kok Pacaran

oleh Aliman Syahrani

Soal pacaran di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa.
Selama ini tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah.
Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).
Bagaimanapun mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual da lam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka menolak. Namun, tidaklah demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang maslahatnya. Satu contoh : orang berpacaran cenderung mengenang dianya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu ?
Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !
Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW : "Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).
Namun Islam juga, jelas-jelas menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi mudharatnya. Setiap orang yang berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap larangan melihat atau bergaul bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: "Janganlah salah seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita, kecuali bersama dengan muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain: "Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati."
Tapi mungkin juga ada di antara mereka yang mencoba "berdalih" dengan mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Abu Daud berikut : "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atawa memberi karena Allah, dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya."Tarohlah mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan terjerumus (terlalu) jauh dalam mengarungi "dunia berpacaran" mereka. Tapi kita juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi "perahu pacaran" itu ? Dan jika kita kembalikan lagi kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang mencintai karena Allah adalah salah satu aspek penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai satu sama lainnya benar-benar karena Allah ? Dan bagaimana mereka merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya) ada acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau yang lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai "mencintai karena Allah ?" Jawabnya jelas tidak !
Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah segera saja laksanakan.

Dikutip dari: http://www.indomedia.com/bpost/012000/24/opini/resensi.htm

 

Artikel II

Pacaran dalam Islam

Gimana sich sebenernya pacaran itu, enak ngga' ya? Bahaya ngga' ya ? Apa bener pacaran itu harus kita lakukan kalo mo nyari pasangan hidup kita ? Apa memang bener ada pacaran yang Islami itu, dan bagaimana kita menyikapi hal itu?
Memiliki rasa cinta adalah fitrah
Ketika hati udah terkena panah asmara, terjangkit virus cinta, akibatnya...... dahsyat man...... yang diinget cuma si dia, pengen selalu berdua, akan makan inget si dia, waktu tidur mimpi si dia. Bahkan orang yang lagi fall in love itu rela ngorbanin apa aja demi cinta, rela ngelakuin apa aja demi cinta, semua dilakukan agar si dia tambah cinta. Sampe' akhirnya....... pacaran yuk. Cinta pun tambah terpupuk, hati penuh dengan bunga. Yang gawat lagi, karena pengen bukti'in cinta, bisa buat perut buncit (hamil). Karena cinta diputusin bisa minum baygon. Karena cinta ditolak .... dukun pun ikut bertindak.
Sebenarnya manusia secara fitrah diberi potensi kehidupan yang sama, dimana potensi itu yang kemudian selalu mendorong manusia melakukan kegiatan dan menuntut pemuasan. Potensi ini sendiri bisa kita kenal dalam dua bentuk. Pertama, yang menuntut adanya pemenuhan yang sifatnya pasti, kalo ngga' terpenuhi manusia bakalan binasa. Inilah yang disebut kebutuhan jasmani (haajatul 'udwiyah), seperti kebutuhan makan, minum, tidur, bernafas, buang hajat de el el. Kedua, yang menuntut adanya pemenuhan aja, tapi kalo' kagak terpenuhi manusia ngga' bakalan mati, cuman bakal gelisah (ngga' tenang) sampe' terpenuhinya tuntutan tersebut, yang disebut naluri atau keinginan (gharizah). Kemudian naluri ini di bagi menjadi 3 macam yang penting yaitu :
Gharizatul baqa' (naluri untuk mempertahankan diri) misalnya rasa takut, cinta harta, cinta pada kedudukan, pengen diakui, de el el.
Gharizatut tadayyun (naluri untuk mensucikan sesuatu/ naluri beragama) yaitu kecenderungan manusia untuk melakukan penyembahan/ beragama kepada sesuatu yang layak untuk disembah.
Gharizatun nau' (naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenisnya) manivestasinya bisa berupa rasa sayang kita kepada ibu, temen, sodara, kebutuhan untuk disayangi dan menyayangi kepada lawan jenis.
Pacaran dalam perspektif islam
In fact, pacaran merupakan wadah antara dua insan yang kasmaran, dimana sering cubit-cubitan, pandang-pandangan, pegang-pegangan, raba-rabaan sampai pergaulan ilegal (seks). Islam sudah jelas menyatakan: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Q. S. Al Isra' : 32)
Seringkali sewaktu lagi pacaran banyak aktivitas laen yang hukumnya wajib maupun sunnah jadi terlupakan. Sampe-sampe sewaktu sholat sempat teringat si do'i. Pokoknya aktivitas pacaran itu dekat banget dengan zina. So....kesimpulannyaPACARAN ITU HARAM HUKUMNYA, and kagak ada legitimasi Islam buatnya, adapun beribu atau berjuta alasan tetep aja pacaran itu haram.

Adapun resep nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud: "Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu seta berkeinginan menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa diantara kalian belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu."
(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan Tirmidzi).
Jangan suka mojok atau berduaan ditempat yang sepi, karena yang ketiga adalah syaiton. Seperti sabda nabi: "Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sebab syaiton menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya." (HR. Imam Bukhari Muslim).
Dan untuk para muslimah jangan lupa untuk menutup aurotnya agar tidak merangsang para lelaki. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya." (Q. S. An Nuur : 31).
Dan juga sabda Nabi: "Hendaklah kita benar-benar memejakamkan mata dan memelihara kemaluan, atau benar-benar Allah akan menutup rapat matamu."(HR. Thabrany).
Yang perlu di ingat bahwa jodoh merupakan QADLA' (ketentuan) Allah, dimana manusia ngga' punya andil nentuin sama sekali, manusia cuman dapat berusaha mencari jodoh yang baik menurut Islam. Tercantum dalam Al Qur'an: "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)."
Wallahu A'lam bish-Showab